Aku yang belakangan semakin ‘bandel’ ternyata masih punya
sisi terkalahkan oleh situasi. Celana lapangan, kaos lengan panjang, tak pakai
kaos kaki, sendal gunung, ransel berat (tunggu yang ini memang selalu), satu
hal paling baru dan terparah menurut teman-temanku (beberapa yang tahu) gaya
‘abang-abang’. Semua itu menjadi hal yang kembali akrab. Ya, kembali akrab.
Dulu bisa lebih parah. Bahkan aku pernah dipanggil abang oleh seorang bocah
yang sekilas melihatku saat berjalan di pinggir lapangan pada petang hari.
Belum lagi beberapa hari yang lalu ada obrolan lucu antara
aku dan murid Teteh yang diajaknya mampir ke kosan. Si bocah dengan polosnya
bertanya apakah aku bisa memainkan games yang ia mainkan. Ku jawab saja tidak,
bukan berarti aku tidak bisa jika ku coba. Hal terlucu dari keluguannya adalah
“Kenapa enggak bisa? Abang kan boys,” yang kujawab dengan “Kakak loh,”. Itu
cukup membuatnya terbengong sambil memperhatikan ku. “Tapi kenapa gitu
rambutnya?” lanjutnya lagi. Aah serangan mematikan dari bocah kecil. Cerita itu
sukses membuat Teteh terkekeh sangat puas.
Dari semua tampilanku kini, ada sisi lain yang tak ku duka
masih ada.
Malam itu kami sampai di halaman Medan Fair sekitar pukul
sembilan kurang. Baru lima menit duduk, seseorang bertanya pada kami. Padaku
tepatnya, mengingat Teteh yang sedang menelepon bapak. “Damrinya jam berapa
datangnya mbak?” tanyanya dari deretan kursi di kiriku. “Enggak tahu mas, ini
juga baru sampai,” jawabku masih biasa.
Singkat cerita, Damri yang kami tunggu ternyata sudah tidak
ada. Jam operasi sudah lewat. Si mas tadi menawarkan untuk naik taxi saja.
Ongkos taxi dibagi tiga agar lebih irit. Memang malam itu tinggal kami tiga
saja yang dengan polosnya menanti Damri. Dari perbincangan singkatnya dengan Teteh,
ku tahu pesawatnya berangkat pukul enam pagi menuju Bandung.
Entah sejak kapan, saat harus menjawab pertanyaannya aku
berubah menjadi aku yang ‘langka’. Suaraku yang memang pelan semakin pelan.
Pandanganku liar mencari objek jauh yang bisa ku lihat. Aku yang berbeda kan?
Biasanya tidak masalah bagiku kalau menatap mata lawan bicaraku meskipun dia
pria (tentunya menghindari untuk saling bertatapan langsung).
Mungkin saja karena dia ikhwan. Pembawaannya baik tanpa
menjadi sok ramah tapi tidak menjadi sombong. Satu lagi yang membuatku malu.
Suaranya sangat lembut. Bahkan nada bicara terlembutku kalah olehnya.
Ternyata kami mendapat supir taksi yang cukup suka
berbincang. Ia bicara ngalor ngidul, pria di depanku menimpalinya sesekali
dengan jawaban singkat tanpa maksud memperpanjang obrolan. Si supir pun terdiam
melihat orang di sebelahnya tampak enggan menjadi lawan bicaranya.
Sampai di bandara, dengan segera Teteh dan pria tadi
menyelesaikan masalah pembayaran. Lalu ia pergi sambil mengucap salam.
Ku pikir akan melihatnya lagi di area check in, ternyata
tidak. Sebenarnya ada sedikit bentuk harapan di dalamnya.
Langit belum juga cerah. Suasana bandara semakin ramai sejak
pukul tiga pagi. Teteh check in, lalu
masuk ke area tunggu. Kalau menuruti keinginan, harusnya aku langsung pergi ke
lantai satu menuju mushola. Tapi entah kesambet apa, aku ingin sedikit
menunjukkan ‘aku adik yang agak baik’. Dari atas ku perhatikan Teteh sampai ia
melewati gate 8. Dan tada... aku melihat pria itu lagi.
***
Beberapa hari kemudian aku bercerita tentang kejadian itu
pada Onee. Satu pertanyaannya “Siapa namanya?”. Beneran
aku tak tahu. Bahkan seingatku saat kejadian sama sekali tak teringat untuk
bertanya siapa namanya.
Satu yang paling ku ingat, malam itu hujan turun.
0 komentar:
Posting Komentar