Sabtu, 21 Februari 2015

Bus Bandara

Aku yang belakangan semakin ‘bandel’ ternyata masih punya sisi terkalahkan oleh situasi. Celana lapangan, kaos lengan panjang, tak pakai kaos kaki, sendal gunung, ransel berat (tunggu yang ini memang selalu), satu hal paling baru dan terparah menurut teman-temanku (beberapa yang tahu) gaya ‘abang-abang’. Semua itu menjadi hal yang kembali akrab. Ya, kembali akrab. Dulu bisa lebih parah. Bahkan aku pernah dipanggil abang oleh seorang bocah yang sekilas melihatku saat berjalan di pinggir lapangan pada petang hari.

Belum lagi beberapa hari yang lalu ada obrolan lucu antara aku dan murid Teteh yang diajaknya mampir ke kosan. Si bocah dengan polosnya bertanya apakah aku bisa memainkan games yang ia mainkan. Ku jawab saja tidak, bukan berarti aku tidak bisa jika ku coba. Hal terlucu dari keluguannya adalah “Kenapa enggak bisa? Abang kan boys,” yang kujawab dengan “Kakak loh,”. Itu cukup membuatnya terbengong sambil memperhatikan ku. “Tapi kenapa gitu rambutnya?” lanjutnya lagi. Aah serangan mematikan dari bocah kecil. Cerita itu sukses membuat Teteh terkekeh sangat puas.

Dari semua tampilanku kini, ada sisi lain yang tak ku duka masih ada.

Malam itu kami sampai di halaman Medan Fair sekitar pukul sembilan kurang. Baru lima menit duduk, seseorang bertanya pada kami. Padaku tepatnya, mengingat Teteh yang sedang menelepon bapak. “Damrinya jam berapa datangnya mbak?” tanyanya dari deretan kursi di kiriku. “Enggak tahu mas, ini juga baru sampai,” jawabku masih biasa.

Singkat cerita, Damri yang kami tunggu ternyata sudah tidak ada. Jam operasi sudah lewat. Si mas tadi menawarkan untuk naik taxi saja. Ongkos taxi dibagi tiga agar lebih irit. Memang malam itu tinggal kami tiga saja yang dengan polosnya menanti Damri. Dari perbincangan singkatnya dengan Teteh, ku tahu pesawatnya berangkat pukul enam pagi menuju Bandung.

Entah sejak kapan, saat harus menjawab pertanyaannya aku berubah menjadi aku yang ‘langka’. Suaraku yang memang pelan semakin pelan. Pandanganku liar mencari objek jauh yang bisa ku lihat. Aku yang berbeda kan? Biasanya tidak masalah bagiku kalau menatap mata lawan bicaraku meskipun dia pria (tentunya menghindari untuk saling bertatapan langsung).

Mungkin saja karena dia ikhwan. Pembawaannya baik tanpa menjadi sok ramah tapi tidak menjadi sombong. Satu lagi yang membuatku malu. Suaranya sangat lembut. Bahkan nada bicara terlembutku kalah olehnya.

Ternyata kami mendapat supir taksi yang cukup suka berbincang. Ia bicara ngalor ngidul, pria di depanku menimpalinya sesekali dengan jawaban singkat tanpa maksud memperpanjang obrolan. Si supir pun terdiam melihat orang di sebelahnya tampak enggan menjadi lawan bicaranya.

Sampai di bandara, dengan segera Teteh dan pria tadi menyelesaikan masalah pembayaran. Lalu ia pergi sambil mengucap salam.

Ku pikir akan melihatnya lagi di area check in, ternyata tidak. Sebenarnya ada sedikit bentuk harapan di dalamnya.

Langit belum juga cerah. Suasana bandara semakin ramai sejak pukul tiga pagi. Teteh check in, lalu masuk ke area tunggu. Kalau menuruti keinginan, harusnya aku langsung pergi ke lantai satu menuju mushola. Tapi entah kesambet apa, aku ingin sedikit menunjukkan ‘aku adik yang agak baik’. Dari atas ku perhatikan Teteh sampai ia melewati gate 8. Dan tada... aku melihat pria itu lagi.
 ***
Beberapa hari kemudian aku bercerita tentang kejadian itu pada Onee.  Satu pertanyaannya “Siapa namanya?”. Beneran aku tak tahu. Bahkan seingatku saat kejadian sama sekali tak teringat untuk bertanya siapa namanya. 

Satu yang paling ku ingat, malam itu hujan turun.

0 komentar:

Posting Komentar