Jumat, 08 Agustus 2014

Mencoba Sudah



Ku awali tulisan ini dari ‘Kita’. ‘Kita’ yang di dalamnya ada aku, ada kamu. Tidak ada ‘dan’ di dalamnya. Karena ‘Kita’ tidak satu rangkaian. Hanya dua yang terpisah.
Kita pernah asing. Lalu menjadi tahu. Kita juga pernah hanya sekedar menyapa. Lalu kita mulai saling bercerita.

Kita pernah sering bertukar cerita. Kita pernah melewati banyak obrolan panjang hingga larut. Pernah ada rangkaian waktu panjang yang kita lewati dengan rajin bertukar kabar. Tidak berlebihan. Hanya kabar dan cerita yang sekedarnya. Tapi dari itu kita mulai mengenal lebih, tidak dalam tentunya.
Ada waktu dimana aku menunggu obrolan kita. Menunggu cerita dan kabarmu. Aku tidak pernah tahu apakah demikian juga denganmu. Tak terasa sudah cukup lama hal ini kita lalui. Meski tidak selama aku mengenal orangtuaku.
Ada ‘tapi’ besar yang menimbulkan senyum, ‘kita tidak cukup dekat’. Tidak seperti yang mereka terka. Juga tak sedekat yang sepertinya. Cenderung kedekatan biasa, seperti seseorang yang kau kenal di kelas dan kalian hanya berdiskusi seputar pelajaran di kelas.  
Aku bersyukur akan batas yang masih kita miliki. Itu menjadi penenang rasa yang menahan untuk tidak dalam. Bukan bermaksud tidak serius. Hanya membatasi diri sebelum menjadi kecewa.
Kamu pernah menyita sebagian perhatianku. Kamu pernah menjadi yang sering ku tunggu. Yang terbaik adalah, kamu sering menjadi inspirasi dan motivasiku. Terima kasih untuk itu.
Tapi itu terlalu banyak untuk saat ini. Untuk saat dimana semua rencana kehidupan baruku dimulai. Saat aku baru belajar menjadi manusia yang bertanggung jawab. Juga saat aku baru menemukan sedikit diriku.
Aku ingin berhenti sejenak. Tepatnya mencoba berhenti memberikan rasa yang berharga. Bukan ku tak rela rasa ini untukmu. Sungguh ku ingin memberikannya. Tapi belum saatnya. Aku hanya tak ingin rasa ini terlalu lama menimbulkan dosa.
Teman dekatku pernah bertanya, kenapa aku ingin menghentikan rasa ini. Penjelasanku cukup panjang kala itu. Penjelasan untuk jawaban yang ia butuhkan, dan juga alasan kuatku.
Aku sempat terlena oleh gejolak yang tercipta. Merasa gila dari biasa. Mabuk oleh pesona. Semua itu cukup. Tak perlu lagi. Karena ini bukan lagi masaku untuk bermain dalam gejolak rasa. Ada hal lebih penting dibalik rasa yang menjadi candu. Aku tak boleh membiarkannya tak berubah. Sama seperti kala ku masih awal remaja.
Sebenarnya rasa ini tak segila kedengarannya. Aku masih bisa menahan diri walau tak sepenuhnya.Tapi bayangan masa depan membuat rasa ini sedikit berbeda. Ya, rasa ini masih berisi gejolak. Memiliki bukan lagi prioritas. Saling menyanjung bukan juga menjadi topeng kebaikan. Logika ketulusan mulai berperan. Berbagai impian besar sempat tergambar, bukan denganmu. Tapi masa depanku.
Aku ingin berhenti merasakannya. Menjadikannya lebih tertahan, hingga menjadi rasa yang lebih pantas.

0 komentar:

Posting Komentar