Ku
awali tulisan ini dari ‘Kita’. ‘Kita’ yang di dalamnya ada aku, ada kamu. Tidak
ada ‘dan’ di dalamnya. Karena ‘Kita’ tidak satu rangkaian. Hanya dua yang
terpisah.
Kita
pernah asing. Lalu menjadi tahu. Kita juga pernah hanya sekedar menyapa. Lalu
kita mulai saling bercerita.
Kita
pernah sering bertukar cerita. Kita pernah melewati banyak obrolan panjang
hingga larut. Pernah ada rangkaian waktu panjang yang kita lewati dengan rajin
bertukar kabar. Tidak berlebihan. Hanya kabar dan cerita yang sekedarnya. Tapi
dari itu kita mulai mengenal lebih, tidak dalam tentunya.
Ada
waktu dimana aku menunggu obrolan kita. Menunggu cerita dan kabarmu. Aku tidak
pernah tahu apakah demikian juga denganmu. Tak terasa sudah cukup lama hal ini
kita lalui. Meski tidak selama aku mengenal orangtuaku.
Ada
‘tapi’ besar yang menimbulkan senyum, ‘kita tidak cukup dekat’. Tidak seperti
yang mereka terka. Juga tak sedekat yang sepertinya. Cenderung kedekatan biasa,
seperti seseorang yang kau kenal di kelas dan kalian hanya berdiskusi seputar
pelajaran di kelas.
Aku
bersyukur akan batas yang masih kita miliki. Itu menjadi penenang rasa yang
menahan untuk tidak dalam. Bukan bermaksud tidak serius. Hanya membatasi diri
sebelum menjadi kecewa.
Kamu
pernah menyita sebagian perhatianku. Kamu pernah menjadi yang sering ku tunggu.
Yang terbaik adalah, kamu sering menjadi inspirasi dan motivasiku. Terima kasih
untuk itu.
Tapi
itu terlalu banyak untuk saat ini. Untuk saat dimana semua rencana kehidupan
baruku dimulai. Saat aku baru belajar menjadi manusia yang bertanggung jawab.
Juga saat aku baru menemukan sedikit diriku.
Aku
ingin berhenti sejenak. Tepatnya mencoba berhenti memberikan rasa yang
berharga. Bukan ku tak rela rasa ini untukmu. Sungguh ku ingin memberikannya. Tapi
belum saatnya. Aku hanya tak ingin rasa ini terlalu lama menimbulkan dosa.
Teman
dekatku pernah bertanya, kenapa aku ingin menghentikan rasa ini. Penjelasanku
cukup panjang kala itu. Penjelasan untuk jawaban yang ia butuhkan, dan juga
alasan kuatku.
Aku
sempat terlena oleh gejolak yang tercipta. Merasa gila dari biasa. Mabuk oleh
pesona. Semua itu cukup. Tak perlu lagi. Karena ini bukan lagi masaku untuk
bermain dalam gejolak rasa. Ada hal lebih penting dibalik rasa yang menjadi
candu. Aku tak boleh membiarkannya tak berubah. Sama seperti kala ku masih awal
remaja.
Sebenarnya
rasa ini tak segila kedengarannya. Aku masih bisa menahan diri walau tak
sepenuhnya.Tapi bayangan masa depan membuat rasa ini sedikit berbeda. Ya, rasa
ini masih berisi gejolak. Memiliki bukan lagi prioritas. Saling menyanjung
bukan juga menjadi topeng kebaikan. Logika ketulusan mulai berperan. Berbagai
impian besar sempat tergambar, bukan denganmu. Tapi masa depanku.
Aku
ingin berhenti merasakannya. Menjadikannya lebih tertahan, hingga menjadi rasa
yang lebih pantas.
0 komentar:
Posting Komentar