Senin, 17 November 2014

PENJELASAN!


Ada yang harus ku jelaskan, untuk menjawab kekhawatiran juga untuk jujur yang tak pernah didengar oleh semua. Aku akan mulai.
Beberapa hari  yang lalu, cerita dengan Onee mengingatkanku pada satu yang pernah ku tahu. Hal yang selama ini tak pernah mengusik terlalu banyak. Tapi cerita baru mengusik tanya yang pernah terlintas untuk segera dihantarkan pada si pemilik jawab. Dan entah kenapa, siang tadi ku teringat pada satu yang sempat menjadi sesal. Satu yang sempat disayangkan terjadi. Satu yang telah lama tak lagi baik.

Suatu cerita yang terjalin sangat tepat. Segalanya terhubung. Sampai pada pengakuan yang akhirnya terlontar. Bahkan saat tanya itu telah siap untuk dilontarkan, jawaban datang dengan tepatnya. Namun itu bukan akhir dari tanya. Ia ciptakan tanya-tanya lain. Mungkin juga sedikit kesal.
---
Lima putaran bulan yang lalu, aku menjadi saksi sikap sebenarnya yang tak pernah diucap.

Menu makan siang saat itu sangat berbeda dari biasa. Lebih sehat juga lezat. Tempatnya pun bukan jenis yang biasa kukunjungi. Hal lain yang tak kalah penting, semua gratis. Kami hanya tiggal melaksanakan tugas wajib untuk menghabiskannya. Sebuah perayaan untuk tugas serius setelah ini. Anggap saja upah di awal kerja.

Meja persegi panjang itu memuat kami berenam. Sangat pas, tanpa menyisakan lebih maupun membuat sempit.

Salah seorang disampingku sedang asik terlibat pembicaraan seru dengan lawan bicara di hadapannya. Pembicaraan yang tak bisa ku timpali untuk bergabung. Bahasannya jauh dari pengetahuanku. Jadi ku biarkan mereka bercengkrama dalam keilmiahan.
Syukurlah hidangan di depanku pantas untuk mendapatkan perhatian lebih dibandingkan lamun yang hampir menghinggap.

Tentu aku tak lupa seorang di sebelahku yang lain. Menikmati hidangan dengan tetap sopan menimpali obrolan yang dilontarkan orang di hadapannya. Ada yang berbeda dengan lawan bicaranya. Sosok yang berbeda dari yang biasa ku temui. Aku tersenyum sendiri melihat binar yang tak bisa ditutupinya.

Segala geraknya sangat berbeda. Selayaknya seseorang yang ingin menempatkan diri agar lebih menarik dan tertata. Senyum, gerak tubuh juga binar matanya cukup menjelaskan sesuatu yang tak pernah ia ucapkan. Ku biarkan ia menikmati masa dengan inginnya, tanpa usik kehadiranku.

Lain  kesempatan, ku temui lagi binar itu. Berkali-kali. Di hadapan orang yang sama.

Pertanyaan yang mengusik kubiarkan tetap tersimpan sebagai hiburan pemuncul senyuman. Pertanyaan untuk apa yang tak pernah ia ucap.

Bahkan ada masanya pertanyaan itu benar-benar terlupakan. Saat banyak sosok yang menjadi bahan ceritanya. Aku berpikir, mungkin binar itu sudah ditempatkan untuk sosok-sosok yang ia sebutkan. Sampai beberapa hari yang lalu saja pikiran itu bertahan.

---

Aku masih ingat, pertemuan awal dengan kita. Cerita hatiku yang terlihat sangat datar menjadi salah satu hal yang menarik untuk dijadikan bahan gelak tawa. Tuju yang tak terlihat nyata bagi kalian menimbulkan ide untuk pemunculan seorang yang cukup ‘nyata’.

Seorang yang tak asing bagiku. Bahkan seseorang yang dianggap terlalu akrab untuk hanya sekedar.
Aku kesulitan menghentikan gemetar yang menyerang dalam proses penulisan bagian ini. Gemetar menahan luapan saat mempersiapkan diri pada ungkapan selanjutnya.

---

Kala itu langit Kota Medan tak lagi sekedar biru tua. Warnanya hampir hitam sempurna. Aku sedang di dalam angkutan umum menuju pulang setelah pertemuan kita dengan hampir lengkap yang pertama. Seperti biasa, Onee juga bersamaku.

Intensitas kebersamaan kami memang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain kan?

Jarak tempuh yang cukup jauh berisikan obrolan beragam warna. Satu yang paling ku ingat. Karena hal itu membuatku menampar diri sendiri untuk sadar. Onee bercerita tentang seseorang merasa aku membuat jarak padanya. Aku yang sebelumnya ia kenal tak berbeda jauh dengan adiknya. Kini berubah jadi aku yang selalu membawa tembok tebal saat berhadapan dengannya.

Dia bukan orang awam yang perlu waktu lama untuk membaca situasi. Ya, dia termasuk golongan orang yang terbiasa membaca sekeliling. Sama sepertiku.

Tanpa sadar tembok itu memang dicipta olehku. Menjaga pandangan orang disekitar yang tertular hembusan. Namun tembok itu terlanjur menjadi tetap ada sampai kini.

---

Aku tak keberatan menjadi bahan tawa diantara kita. Tak juga keberatan (pada awalnya) digoda dengan urusan hati. Toh itu hanya untuk konsumsi kita saja. Itu pikirku pada awalnya.

Ternyata hal itu tak bertahan lama. Di hadapanku, ini berubah menjadi hembusan keluar dari lingkup kita. Sama halnya seperti hembusan biasa. Hal ini menyebar pada lingkup yang lain.

*ijinkan aku melompat pada hal yang lain. Aku tak ingin membahasnya lebih jauh.

---

Sebuah pot bunga, sejatinya diciptakan untuk tempat tumbuhnya satu bibit bunga.
Jangan paksakan mengisinya dengan bunga lain  diluar kesanggupan pot itu.

Apa yang salah dengan rasa yang tercipta untuknya? Apakah salah jika ternyata ku bertahan pada rasa yang memang seharusnya? Rasa yang tak kalian percaya.

Aku menyayanginya tanpa beban. Ia mendapatkan posisi yang berbeda dalam hidupku. Menjadi jawaban dari kehilangan yang menjadi jalanku. Ia menggantikan sosok yang masih ada.

Ia yang ku ijinkan mendapatkan sebutan istimewa. Sebutan yang bahkan pernah berat ku sematkan pada pendamping saudari kandungku. Sebutan dari aku yang nyaman menjadi diperhatikan olehnya. Sebutan yang juga untuk sosok yang masih ada. Sebutan itu berawal dari ceritanya yang berpikir ‘sepertinya enak jika mendapat sebutan itu’. Aku pun menjawab dengan sebutan yang kusemat tanpa ragu.

Ia hadir dengan segala yang ia punya. Segala yang diberi dengan cukupnya. Hal-hal yang ku rindukan dari orang lain. Ia sering menjadi orang pertama tempatku bertanya. Menjadi orang yang ku percaya merombak hasil belajarku. Tempatku bercerita mengenai apa yang baru ku temui.

Terkadang aku berpikir apakah aku membebaninya dengan satu adik lagi?

Tapi dengan apa yang dipunya, ia tak pernah mengeluh membagi perhatian yang menjadi milik kerabatku.

Aku iri dengan kedekatan mereka. Mereka yang ditakdirkan memiliki darah yang sama. Tak canggung menunjukkan rasa di depan siapa saja. Rasa yang memang sudah seharusnya mereka miliki.

Aku iri karena tak mendapatkannya dari seseorang yang seharusnya.

Aku kembali bertanya pada kalian. Apa aku salah dengan rasa yang kupunya untuknya? Rasa yang berisi sayang tanpa ingin memilikinya? Rasa yang memiliki batas tanpa lebih yang merusak?

Apa salah jika rasa itu timbul dari rasa rindu seorang adik akan perhatian dari seorang abang yang ia miliki? Rasa rindu yang ia jawab. Dan apa salah jika rasaku sampai pada taraf menempatkan ia pada posisi seorang abang dari keluargaku yang lain.

---

Aku menangisi keadaan yang kini membuat rasa itu terkukung oleh batas. Batas yang sengaja ku cipta sebagai jawaban untuk kejengahan atas olokan yang berlebihan.

Aku manyayangkan kesal yang ada untuk mereka yang merasa terhibur dengan olokan. Yang menggantungkan harap lebih pada kami. Yang menganggap benar adanya lebih diantara kami.

---

Kini aku berdiri dalam kekinian dengan kosong yang terkunci. Kekosongan akan sosok yang pernah diisi.

Di sisi lain, aku menyayangkan kekinian dengan tembok yang berubah menjadi jarak. Jarak yang terlanjur jauh dengan sendirinya.

---

Aku sempat berpikir, apakah waktu benar-benar bekerja. Memadamkan hembusan menjengahkan itu. Sampai hari lalu membuka mataku. Ku pikir kita telah memiliki pengetahuan yang sama tentang kami. Ku pikir setiap yang ada di dalam kita berhenti membuatnya jadi olokan.

Tidak perlu menanyakan keikhlasanku. Itu memunculkan jengah yang lama.

---

Bingung penjelasan apa yang dapat mengantarku pada bagian ini tanpa membuatnya melompat sangat jauh.

Bercerita dan menjelaskan ternyata memberi lega yang sangat luas. Dan mengantarkanku pada titik jenuh. Ya, aku kehabisan kata. Luapan itu mereda. Jemari ini pun telah kembali lancar menarikan kata.

Terima kasih atas pengingat akan penjelasan yang harus diselesaikan.
Aku akan kembali pada awal yang menjadi alasan adanya penjelasan ini ‘Gadis berbinar yang tertunduk malu’.

Untuk gadis yang berbinar.

Jawabanmu yang tak membuatku terkejut menimbulkan kesal. Otakku ku buat bekerja mengingat lalu yang panjang. Menerka sejak kapan rasamu itu ada. Juga menerka kenapa baru sekarang kau ucap. Kenapa begitu banyak sosok lain yang kau sebut selama ini?

Jika malu menjadi dasarnya. Jangan.

Tak perlu malu dengan rasa yang kau punya. Semua orang berhak memiliki rasa. Jangan takut berkata jika ia tuju rasamu. Rasa bukan untuk ia yang ditujukan tapi tertuju pada ia yang tak pernah kita minta.
.

0 komentar:

Posting Komentar