Rabu, 03 Desember 2014

Guratan Hujan #2

sebelumnya.......
 
Masih hujan di luar sana. Aku memilih untuk menikmati hujan meski hanya dengan tanganku. Sesekali ku biarkan wajahku menengadah dan mengijinkan hujan mengalir di pipi gembil ini.
Pria itu hanya duduk bersila di lantai sambil memandangiku yang berdiri di pinggiran teras. Aku lupa waktu sampai hujan benar-benar berhenti mengguyur bumi. Matahari tanpa segan langsung menunjukkan sinarnya. Hingga membentuk lengkung pelangi di arah timur.
Pria itu berdiri di sampingku. Ia memandangi lengkung indah itu. Damai semakin lengkap melihatnya khidmat meresapi sejuk yang ada. Aku pun mengikuti arah pandangnya. Cukup lama kami berdiam dengan posisi seperti itu.
“Udah neng?” tanyanya lembut sambil menyunggingkan senyum hangatnya padaku.
Senyum lebarku tak tertahan untuk membalas senyumnya.
“Udah. Yuk lanjut,” balasku bersemangat.
Kami melaju beriring. Aku menaiki sepeda yang ia pinjam dari sepupunya. Sedangkan ia menaiki sepeda putih yang sudah menemaninya selama dua tahun. Sisa hujan masih menggenangi jalanan kota. Tak jarang ia sengaja melaju kencang melewati genangan air. Kami tak ayal seperti anak kecil yang terlalu senang menikmati sisa hujan. Sekilas ku tangkap senyuman orang-orang yang kami lewati.
Senyumku terus merekah bahkan saat kami tiba di sebuah toko buku tua. Sesampainya di dalam toko, tanpa aba-aba kami pun berpencar. Tanpa ragu ku langkahkan kaki ke rak buku travelling. Pria itu seperti biasa, rak komik selalu menjadi tujuan pertamanya di semua toko buku yang ia singgahi.
---
Ini kali ke tiga ku datang ke kotanya. Dan pertama kalinya ku datang untuk menemuinya. Waktu yang ku punya hanya beberapa hari. Tiket pulang telah jauh hari ku pesan.
Menemuinya menjadi tujuan utama yang disembunyikan. Ayah memintaku untuk mengunjungi keluarga ibu terlebih dahulu. Hanya berjarak satu jam perjalanan dari kotanya.
Tiga hari pertama ku habiskan dengan hilir mudik mengunjungi saudara ibu. Tak banyak yang ku kenal. Senyum manis yang biasa ku sungging berubah menjadi senyum bingung yang dipaksakan tampak senang. Cukup canggung karena kali ini aku hanya sendiri.
Tak jarang rentetan pertanyaan menyerangku saat berkunjung. Maklum saja kami memang tak pernah kumpul keluarga. Terlebih lagi ayah dan ibu yang memutuskan tinggal di pulau yang berbeda dengan keluarga besar sejak 30 tahun lalu. 
Pertanyaan yang dilontarkan tak banyak variasi. Biasanya berkisar kabar ayah dan ibu, kuliah, pekerjaan dan yang paling sering adalah pasangan. Dan pertanyaan itu selalu ada di daftar pertanyaan siapa pun yang katanya keluarga ibu.
“Udah punya pacar Ri?”
“Pacarnya orang mana?”
“Kapan nikah? Anak bude yang lebih muda dari kamu udah pada nikah loh nduk,,”
Banyak lagi variasi pertanyaan yang sejenis. Ada juga sepupu yang menawari untuk mengenalkanku dengan temannya. Dan semua pertanyaan jenis itu hanya ku jawab dengan senyum dan tawa kecil. Bahkan juga tawa terbahak yang berarti “Sudahlah aku bosan dengan pertanyaan yang tak bisa ku jawab ini,”

***
just wait..

0 komentar:

Posting Komentar