
Masih hujan di luar sana. Aku memilih untuk menikmati hujan meski hanya dengan tanganku. Sesekali ku biarkan wajahku menengadah dan mengijinkan hujan mengalir di pipi gembil ini.
Pria itu hanya duduk bersila
di lantai sambil memandangiku yang berdiri di pinggiran teras. Aku lupa waktu
sampai hujan benar-benar berhenti mengguyur bumi. Matahari tanpa segan langsung
menunjukkan sinarnya. Hingga membentuk lengkung pelangi di arah timur.
Pria itu
berdiri di sampingku. Ia memandangi lengkung indah itu. Damai semakin lengkap
melihatnya khidmat meresapi sejuk yang ada. Aku pun mengikuti arah pandangnya.
Cukup lama kami berdiam dengan posisi seperti itu.
“Udah neng?” tanyanya lembut
sambil menyunggingkan senyum hangatnya padaku.
Senyum lebarku tak tertahan
untuk membalas senyumnya.
“Udah. Yuk lanjut,” balasku
bersemangat.
Kami melaju beriring. Aku menaiki
sepeda yang ia pinjam dari sepupunya. Sedangkan ia menaiki sepeda putih yang
sudah menemaninya selama dua tahun. Sisa hujan masih menggenangi jalanan kota.
Tak jarang ia sengaja melaju kencang melewati genangan air. Kami tak ayal
seperti anak kecil yang terlalu senang menikmati sisa hujan. Sekilas ku tangkap
senyuman orang-orang yang kami lewati.
Senyumku terus merekah
bahkan saat kami tiba di sebuah toko buku tua. Sesampainya di dalam toko, tanpa
aba-aba kami pun berpencar. Tanpa ragu ku langkahkan kaki ke rak buku
travelling. Pria itu seperti biasa, rak komik selalu menjadi tujuan pertamanya
di semua toko buku yang ia singgahi.
---
Ini kali ke tiga ku datang
ke kotanya. Dan pertama kalinya ku datang untuk menemuinya. Waktu yang ku punya
hanya beberapa hari. Tiket pulang telah jauh hari ku pesan.
Menemuinya menjadi tujuan
utama yang disembunyikan. Ayah memintaku untuk mengunjungi keluarga ibu
terlebih dahulu. Hanya berjarak satu jam perjalanan dari kotanya.
Tiga hari pertama ku
habiskan dengan hilir mudik mengunjungi saudara ibu. Tak banyak yang ku kenal.
Senyum manis yang biasa ku sungging berubah menjadi senyum bingung yang
dipaksakan tampak senang. Cukup canggung karena kali ini aku hanya sendiri.
Tak jarang rentetan
pertanyaan menyerangku saat berkunjung. Maklum saja kami memang tak pernah
kumpul keluarga. Terlebih lagi ayah dan ibu yang memutuskan tinggal di pulau
yang berbeda dengan keluarga besar sejak 30 tahun lalu.
Pertanyaan yang dilontarkan
tak banyak variasi. Biasanya berkisar kabar ayah dan ibu, kuliah, pekerjaan dan
yang paling sering adalah pasangan. Dan pertanyaan itu selalu ada di daftar
pertanyaan siapa pun yang katanya keluarga ibu.
“Udah punya pacar Ri?”
“Pacarnya orang mana?”
“Kapan nikah? Anak bude yang
lebih muda dari kamu udah pada nikah loh nduk,,”
Banyak lagi variasi
pertanyaan yang sejenis. Ada juga sepupu yang menawari untuk mengenalkanku
dengan temannya. Dan semua pertanyaan jenis itu hanya ku jawab dengan senyum
dan tawa kecil. Bahkan juga tawa terbahak yang berarti “Sudahlah aku bosan
dengan pertanyaan yang tak bisa ku jawab ini,”
***
just wait..
0 komentar:
Posting Komentar