Berjalan terus lah berjalan
Hingga kelelahan lelah mengikuti
langkahmu
Itu bukan potongan kalimat dari tokoh
terkenal atau kutipan dari buku manapun. Hanya rangkaian kata yang dipilih otak
manusia yang mengerjakan tulisan ini untuk mengawali karyanya. Tulisan kali ini
akan bercerita tentang perjalanan akhir tahun penulis. Akhir tahun yang berbeda
dari tahun-tahun sebelumnya. Perjalanan yang menyiratkan kecintaan penulis akan
jalan, angin, laut, ombak dan hujan.
Cerita ini dimulai dari keinginan
untuk melakukan perjalanan menaiki kereta api bersama. Setelah sekian lama
tertunda, maka diputuskan 25 Desember 2013 adalah waktu yang tepat. Satu
keputusan lagi harus dianmbil, tujuan perjalanan. Berbagai tempat kami
sebutkan. Berbagai alasan pula yang mengugurkan tempat itu menjadi tujuan
perjalanan ini. Akhirnya diputuskan satu kota yang menjadi tujuan.
Sehari sebelum tanggal keberangkatan,
setelah semua proses perkuliahan tahun ini berakhir, kami putuskan ke stasiun
kereta api. Memesan tiket perjalanan untuk esok hari. Keramaian sudah tanpak
saat kami baru tiba di area parkir. Tempat baru lagi untuk di datangi. kami
bukan kumpulan orang yang sering melakukan perjalanan dengan menaiki kereta
api, tentu saja stasiun kereta merupakan tempat yang sedikit asing bagi kami.
Sedikit bingung melihat keramaian dan tidak tahu harus berbuat apa, satu titik
cerah tampak. Dari belakang antrian penumpang yang panjang di loket pembelian
tiket, tampak sebuah kertas pengumuman ditempel di depan sana. Isinya tak ku
ingat jelas, namun menjelaskan bahwa tiket keberangkatan yang kami cari telah
habis. Sedikit kecewa sempat timbul. Akhirnya seorang bapak menyarankan kami
untuk bertanya kebagian informasi. Jadilah dengan penuh harap kami berempat
menuju ke tempat itu. Kabar gembira segera kami dapat, tiket masih tersedia
untuk keberangkatan 2 hari kedepan. Tanpa pikir panjang langsung kami beli.
Dengan Rp 20.000 jadilah kami akan merangkat ke Tnajung Balai 26 Desember 2013.
Seolah
‘5 cm’
Sedikit tidak sabar sebenarnya. Dengan
sisa ketahanan mata, jadilah malam sebelum keberangkatan saya habiskan dengan
mencari informasi mengenai Tanjung Balai. Tidak banyak yang saya dapatkan dari
mesin pencari informasi ini. Namun sudah cukup memberi gambaran keadaan yang
akan kami hadapi.
Kereta berangkat pukul 06.45 pagi.
Setengah jam sebelum keberangkatan saya menuju ke stasiun. Tak sampai 10 menit,
tiba juga di stasiun. Keadaaan pagi itu tidak seramai kemarin. Tampak 2 sosok
yang sangat akrab di tempat yang kami janjikan sebagai spot pertemuan. H dan K telah tiba sebelum saya. ‘Satu orang lagi
yang harus ditunggu,’ pikirku.
Saat panggilan agar penumpang kereta
api Putri Deli naik ke gerbong terdengar, sosok itu belum juga muncul. Dari
kabar terakhir yang kami dapatkan, ia masih dijalan. Bertiga kami masuk
terlebih dahulu, seperti yang disarankan orang yang kami tunggu itu.
Jujur kami tidak tahu gerbong mana
yang harus kami naiki. Jadilah bertanya dengan polos gaya anak sekolahan kami
lakukan. Setelah mengetahui tempat duduk sesuai dengan yang tertera di tiket,
selanjutnya menunggu kabar ‘lagi’ dari orang itu. Segera saya kembali ke pintu
masuk gerbong, berharap orang itu segera muncul. Entah bagaimana tampang saya
saat itu, perasaan tegang dan takut segera menghinggapi.
Ditengah kekalutan, dari jauh sosok
itu tampak muncul di pintu masuk stasiun. Lalu hilang di terowongan
penyeberangan. Seorang petugas stasiun menyuruh saya untuk masuk dan menutup
pintu gerbong dari dalam. Dengan semangat dan takut saya jelaskan bahwa saya
sedang menunggu seorang teman lagi.
“Mana
temannya?”
“Itu udah di terowongan,” sambil menunjuk arah terowongan.
Berkali-kali suara dentak
keberangkatan kereta terdengar dari pengeras suara. Sosok itu belum muncul
juga. Saya menghubungi ponselnya, dengan suara gemetar saya bertanya keberadaannya.
Kereta mulai bergerak.
“Iya ini udah di dalam.”
Seketika tubuh ini lemas seolah baru
terkena sihir pelunak tulang. Saya kembali ke dalam gerbong, menjatuhkan diri
di tempat duduk. Sosok itu belum muncul juga. H dan K bertanya dimana ia.
“Katanya udah di dalam,”
Masih dalam keadaan lemas, saya
memaksakan diri untuk menoleh kearah pintu. Disitulah ia sosok yang membuat
saya benar-benar takut dan lemas, kak S. Spontan kami pun heboh menyambutnya.
Entah apa saja yang kami sebutkan untuk menggambarkan apa yang baru terjadi.
Ingat kejadian di stasiun pada
buku/film ‘5 cm’? Beberapa hari sebelum keberangkatan, kami pernah membuat
lelucon tentang hal itu. Bagaimana jika kejadian Ian yang terlambat kami alami
juga? Dugaan kami yang terlambat adalah H. Kenyataannya bukan H yang terlambat.
Pukul 06.51
di ponsel saya, kereta memulai perjalanannya entah yang keberapa. Namun ini
perjalanan pertama saya menaiki kereta api. Semoga bukan yang terakhir. Bersama
H, K dan S hari ini akan menjadi beda dan istimewa. Sebuah hadiah kenangan dari
tahun 2013.
Bersambung....
0 komentar:
Posting Komentar