Kamis, 02 Januari 2014

Cerita Akhir Tahun #1


Berjalan terus lah berjalan
Hingga kelelahan lelah mengikuti langkahmu

Itu bukan potongan kalimat dari tokoh terkenal atau kutipan dari buku manapun. Hanya rangkaian kata yang dipilih otak manusia yang mengerjakan tulisan ini untuk mengawali karyanya. Tulisan kali ini akan bercerita tentang perjalanan akhir tahun penulis. Akhir tahun yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Perjalanan yang menyiratkan kecintaan penulis akan jalan, angin, laut, ombak dan hujan.
Cerita ini dimulai dari keinginan untuk melakukan perjalanan menaiki kereta api bersama. Setelah sekian lama tertunda, maka diputuskan 25 Desember 2013 adalah waktu yang tepat. Satu keputusan lagi harus dianmbil, tujuan perjalanan. Berbagai tempat kami sebutkan. Berbagai alasan pula yang mengugurkan tempat itu menjadi tujuan perjalanan ini. Akhirnya diputuskan satu kota yang menjadi tujuan.
Sehari sebelum tanggal keberangkatan, setelah semua proses perkuliahan tahun ini berakhir, kami putuskan ke stasiun kereta api. Memesan tiket perjalanan untuk esok hari. Keramaian sudah tanpak saat kami baru tiba di area parkir. Tempat baru lagi untuk di datangi. kami bukan kumpulan orang yang sering melakukan perjalanan dengan menaiki kereta api, tentu saja stasiun kereta merupakan tempat yang sedikit asing bagi kami. Sedikit bingung melihat keramaian dan tidak tahu harus berbuat apa, satu titik cerah tampak. Dari belakang antrian penumpang yang panjang di loket pembelian tiket, tampak sebuah kertas pengumuman ditempel di depan sana. Isinya tak ku ingat jelas, namun menjelaskan bahwa tiket keberangkatan yang kami cari telah habis. Sedikit kecewa sempat timbul. Akhirnya seorang bapak menyarankan kami untuk bertanya kebagian informasi. Jadilah dengan penuh harap kami berempat menuju ke tempat itu. Kabar gembira segera kami dapat, tiket masih tersedia untuk keberangkatan 2 hari kedepan. Tanpa pikir panjang langsung kami beli. Dengan Rp 20.000 jadilah kami akan merangkat ke Tnajung Balai 26 Desember 2013.

Seolah ‘5 cm’
Sedikit tidak sabar sebenarnya. Dengan sisa ketahanan mata, jadilah malam sebelum keberangkatan saya habiskan dengan mencari informasi mengenai Tanjung Balai. Tidak banyak yang saya dapatkan dari mesin pencari informasi ini. Namun sudah cukup memberi gambaran keadaan yang akan kami hadapi.
Kereta berangkat pukul 06.45 pagi. Setengah jam sebelum keberangkatan saya menuju ke stasiun. Tak sampai 10 menit, tiba juga di stasiun. Keadaaan pagi itu tidak seramai kemarin. Tampak 2 sosok yang sangat akrab di tempat yang kami janjikan sebagai spot pertemuan. H dan K telah tiba sebelum saya. ‘Satu orang lagi yang harus ditunggu,’ pikirku.
Saat panggilan agar penumpang kereta api Putri Deli naik ke gerbong terdengar, sosok itu belum juga muncul. Dari kabar terakhir yang kami dapatkan, ia masih dijalan. Bertiga kami masuk terlebih dahulu, seperti yang disarankan orang yang kami tunggu itu.
Jujur kami tidak tahu gerbong mana yang harus kami naiki. Jadilah bertanya dengan polos gaya anak sekolahan kami lakukan. Setelah mengetahui tempat duduk sesuai dengan yang tertera di tiket, selanjutnya menunggu kabar ‘lagi’ dari orang itu. Segera saya kembali ke pintu masuk gerbong, berharap orang itu segera muncul. Entah bagaimana tampang saya saat itu, perasaan tegang dan takut segera menghinggapi.
Ditengah kekalutan, dari jauh sosok itu tampak muncul di pintu masuk stasiun. Lalu hilang di terowongan penyeberangan. Seorang petugas stasiun menyuruh saya untuk masuk dan menutup pintu gerbong dari dalam. Dengan semangat dan takut saya jelaskan bahwa saya sedang menunggu seorang teman lagi.
Mana temannya?”
“Itu udah di terowongan,” sambil menunjuk arah terowongan.
Berkali-kali suara dentak keberangkatan kereta terdengar dari pengeras suara. Sosok itu belum muncul juga. Saya menghubungi ponselnya, dengan suara gemetar saya bertanya keberadaannya. Kereta mulai bergerak.
“Iya ini udah di dalam.”
Seketika tubuh ini lemas seolah baru terkena sihir pelunak tulang. Saya kembali ke dalam gerbong, menjatuhkan diri di tempat duduk. Sosok itu belum muncul juga. H dan K bertanya dimana ia.
“Katanya udah di dalam,”
Masih dalam keadaan lemas, saya memaksakan diri untuk menoleh kearah pintu. Disitulah ia sosok yang membuat saya benar-benar takut dan lemas, kak S. Spontan kami pun heboh menyambutnya. Entah apa saja yang kami sebutkan untuk menggambarkan apa yang baru terjadi.
Ingat kejadian di stasiun pada buku/film ‘5 cm’? Beberapa hari sebelum keberangkatan, kami pernah membuat lelucon tentang hal itu. Bagaimana jika kejadian Ian yang terlambat kami alami juga? Dugaan kami yang terlambat adalah H. Kenyataannya bukan H yang terlambat.
Pukul 06.51 di ponsel saya, kereta memulai perjalanannya entah yang keberapa. Namun ini perjalanan pertama saya menaiki kereta api. Semoga bukan yang terakhir. Bersama H, K dan S hari ini akan menjadi beda dan istimewa. Sebuah hadiah kenangan dari tahun 2013.

Bersambung.... 

0 komentar:

Posting Komentar