Selasa, 16 September 2014

Guratan Hujan #1

“Aku mencintaimu, tapi aku takut kehilangan cinta,” suaraku berat mengatakannya.
Ia tersenyum seperti biasa, sangat hangat dan ramah “It’s oke loh nduk,” katanya sambil mengelus kepalaku. Ahh aku sangat menyukai saat ia memperlakukanku seolah adik kecilnya.
***


Sudah hampir sebulan hujan tak datang mengguyur dahaga bumi. Kekeringan memang sedang melanda di banyak tempat. Mengurung diri di ruang kecil berukuran 3 x 4 meter bukanlah pilihan cerdas, saat listrik pun masih rajin padam. Beruntung tak banyak waktu kosong yang kumiliki. Setiap harinya ku disibukkan dengan pekerjaan yang tak pernah lelah menghampiri.

Sejak kemarin mereka rajin menanyai ku untuk memastikan jadwal kami tidak berubah. Aku benar-benar merindukan mereka. Di tengah kesibukan yang membuatku seolah robot, mereka menjadi penyihir yang mengubahku menjadi manusia kembali untuk beberapa jam pertemuan.
---
“Eh udah nonton film The Running Bird? Keren loh. Aku ampe dua kali nonton,” katanya bersemangat sambil mencolekkan kentang goreng ke saus yang tersedia. Ia Tama, pengganggu yang tak pernah ku sangka bisa menjadi sahabat baik ku.

“Ihh,, lu mah enak bisa punya waktu luang buat nonton. Kalo orang-orang kayak awak ni mana bisa. Penelitian menghantui dimana-mana. Boro-boro dua kali, mampir ke bioskop aja udah jadi momen langka,” cerocos Dita sambil mengaduk moccacino dingin yang ia pesan.

Tawa kami tergelak. Ohh sungguh aku menyayangi mereka. Dua makhluk yang punya kisah cinta indah tanpa ending bersatu.

“Apalagi aku. Tibanya ada libur ya tidur kalo ga ada yang ngajak jalan,” kataku dicampur tawa yang belum berhenti.

“Kau gak bilang sama ku kalo ada libur, kan bisa bareng,” Tama membalas.

“Iya,, terus kalian nonton bareng dan aku cuma dapat cerita yang bikin iri aja,” cibir Dita. Gelak kami semakin seru.

Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Tak terasa sudah empat jam kami habiskan waktu mengobrol tak tentu arah. Saling melempar ejekan juga pujian langka.

D’coffee dar At menjadi lokasi paling tak tergantikan saat berkumpul sejak masa kuliah. Bahkan para pelayannya hafal dimana kami akan duduk. Meja persegi yang terletak di balkon lantai dua. Bahkan susunan tempat duduk kami jarang berubah. Tama duduk berhadapan denganku  dan Dita di sisi lain meja.

“Eh  Ri,, katanya baru beli drawing pen baru. Liat lah.. udah dicobain?” Tama tiba-tiba mengganti topik sesukanya.

“Sengaja ga bawa biar ga dirimu pinjem,” ledekku.

“Ih gitu kali. Padahal kan Cuma mau liat. Biar aku coba bagus atau enggak,” belanya

“Sama aja, kalau dicoba kan berati kau pake juga Tam Tam,” jawabku gemas. Dita menahan tawa melihat kami.

Aku dan Tama memang menyukai seni gambar. Bahkan Tama menjadikan hobby ini sebagai pekerjaannya. Sedangkan aku menjadikannya pengisi waktu luang. Beruntungnya kami memiliki model tetap tanpa bayaran untuk digambar, Dita. Ia sangat suka kami jadikan model. Entah berapa gambar yang telah ia kumpulkan dari hasil goresan kami.

“Tapi udah dicoba belum?” Tama tetap ngotot.

“Udah dong.” Jawabku sedikit menyombong.

“Liaat!” seru mereka hampir berbarengan.

Dengan berat ku keluarkan buku sketsa ku. Sampulnya lusuh. Karena sudah 3 tahun ia menemaniku, ku bawa setiap saat. Meski sampai sekarang baru setengah buku yang telah ku isi. Mereka memeriksa halaman terakhir yang berisi sketsa.

“Eh bagus. Kapan-kapan temenin beli pen nya ya. Aku mau juga,” Tama selalu bersemangat mengenai hal-hal yang berbau seni.

“Besok-besok gambarin tanganku ya Ri,, kan dari kemaren muka mulu yang digambar,” Dita mulai mengeluarkan tampak imut andalannya saat menginginkan sesuatu.

Aku sedikit tersedak air putih yang sedang ku minum.

“Besok-besok kan?” jawabku terbatuk.

 “Iya kapan sempatnya aja,” ia menyunggingkan senyum ngarepnya.

“Ri, coba liat tanganmu,” tiba-tiba Tama memintaku. Aku baru sadar selagi aku dan Dita berbincang, Tama membalik-balik lembar buku sketsaku.

Ku tunjukkan kedua kepal tanganku.

“Mirip. Sejak kapan kau ngegambar diri sendiri?” Tama tak melepaskan pandangan dari buku sketsa di tangannya.

Aku mengernyit heran. Dita langsung ikut melihat apa yang Tama lihat.

“Ini gambarmu Ri? Kok beda?” Tama masih mengamati.

 “Ta..u..fik?” Dita mengeja sambil terheran.

Aku tercekat. Sudah lama nama itu tak ku dengar. Kini aku paham gambar apa yang sedang dilihat Tama dan Dita.

“Ini Taufik yang buat Ri?” Tama penasaran

“Serius? Ini Taufik yang...” Dita tak menyelesaikan kalimatnya.

Adegan-adegan masa lalu berkelebatan di benak ku. Seolah memberontak untuk diingat. Aku sadar apa yang sedang dilihat oleh dua orang sahabatku ini.

Bayangan pria dengan senyum hangat dan mata teduh dengan sekejap memenuhi pikiranku. Tubuh tinggi yang sedikit kurus dan kulit sawo matang. Tahi lalat di atas bibir kirinya. Rambut yang biasa ia biarkan sedikit panjang dan hanya disisir tangan. Boho bag coklat yang selalu tersampir di  pundaknya, terkadang digantikan oleh ransel hitam coklat yang sama seperti milik ku.  Kaus putih  yang dilapisi kemeja atau jaket abu-abu tidak terkancing menjadi gaya khasnya. Jeans biru pekat, hitam atau abu-abu menjadi variasi tetap celananya. Tak jarang juga ia menggunakan celana pendek saat waktu santai, tentunya dipadukan dengan kaos putih koleksinya.

Aku masih bisa mengingat dirinya dengan sangat detail. Seolah baru saja detik sebelumnya kami bertemu. Degup kencang di dada ku terdengar nyaring. Denting garpu yang terjatuh menyadarkanku dari lamunan. Garpu di tangangku terjatuh. Sebegitu tidak sadarnya kah diriku saat meresapi ingatanku yang menggambrakan dirinya? Aah kenapa nama dan bayangan itu masih sangat indah?

“Dia sekarang dimana?” Tama sungguh-sungguh bertanya.

Aku baru sadar, tak pernah lagi ada kisah manisku bersama Taufik yang pernah ku bagi dengan mereka. Bahkan mengenai pertemuan terakhir kami dua tahun lalu.
***
just wait

0 komentar:

Posting Komentar