“Aku mencintaimu, tapi aku takut kehilangan cinta,” suaraku
berat mengatakannya.
Ia tersenyum seperti biasa, sangat hangat dan ramah “It’s
oke loh nduk,” katanya sambil mengelus kepalaku. Ahh aku sangat menyukai saat
ia memperlakukanku seolah adik kecilnya.
***
Sudah hampir sebulan hujan tak datang mengguyur dahaga bumi.
Kekeringan memang sedang melanda di banyak tempat. Mengurung diri di ruang
kecil berukuran 3 x 4 meter bukanlah pilihan cerdas, saat listrik pun masih
rajin padam. Beruntung tak banyak waktu kosong yang kumiliki. Setiap harinya ku
disibukkan dengan pekerjaan yang tak pernah lelah menghampiri.
Sejak kemarin mereka rajin menanyai ku untuk memastikan
jadwal kami tidak berubah. Aku benar-benar merindukan mereka. Di tengah
kesibukan yang membuatku seolah robot, mereka menjadi penyihir yang mengubahku
menjadi manusia kembali untuk beberapa jam pertemuan.
---
“Eh udah nonton film The Running
Bird? Keren loh. Aku ampe dua kali nonton,” katanya bersemangat sambil
mencolekkan kentang goreng ke saus yang tersedia. Ia Tama, pengganggu yang tak
pernah ku sangka bisa menjadi sahabat baik ku.
“Ihh,, lu mah enak bisa punya
waktu luang buat nonton. Kalo orang-orang kayak awak ni mana bisa. Penelitian
menghantui dimana-mana. Boro-boro dua kali, mampir ke bioskop aja udah jadi
momen langka,” cerocos Dita sambil mengaduk moccacino dingin yang ia pesan.
Tawa kami tergelak. Ohh sungguh
aku menyayangi mereka. Dua makhluk yang punya kisah cinta indah tanpa ending
bersatu.
“Apalagi aku. Tibanya ada libur
ya tidur kalo ga ada yang ngajak jalan,” kataku dicampur tawa yang belum
berhenti.
“Kau gak bilang sama ku kalo ada
libur, kan bisa bareng,” Tama membalas.
“Iya,, terus kalian nonton bareng
dan aku cuma dapat cerita yang bikin iri aja,” cibir Dita. Gelak kami semakin
seru.
Waktu menunjukkan pukul 10 malam.
Tak terasa sudah empat jam kami habiskan waktu mengobrol tak tentu arah. Saling
melempar ejekan juga pujian langka.
D’coffee dar At menjadi lokasi
paling tak tergantikan saat berkumpul sejak masa kuliah. Bahkan para pelayannya
hafal dimana kami akan duduk. Meja persegi yang terletak di balkon lantai dua.
Bahkan susunan tempat duduk kami jarang berubah. Tama duduk berhadapan
denganku dan Dita di sisi lain meja.
“Eh Ri,, katanya baru beli drawing pen baru. Liat
lah.. udah dicobain?” Tama tiba-tiba mengganti topik sesukanya.
“Sengaja ga bawa biar ga dirimu
pinjem,” ledekku.
“Ih gitu kali. Padahal kan Cuma
mau liat. Biar aku coba bagus atau enggak,” belanya
“Sama aja, kalau dicoba kan
berati kau pake juga Tam Tam,” jawabku gemas. Dita menahan tawa melihat kami.
Aku dan Tama memang menyukai seni
gambar. Bahkan Tama menjadikan hobby ini sebagai pekerjaannya. Sedangkan aku
menjadikannya pengisi waktu luang. Beruntungnya kami memiliki model tetap tanpa
bayaran untuk digambar, Dita. Ia sangat suka kami jadikan model. Entah berapa
gambar yang telah ia kumpulkan dari hasil goresan kami.
“Tapi udah dicoba belum?” Tama
tetap ngotot.
“Udah dong.” Jawabku sedikit
menyombong.
“Liaat!” seru mereka hampir
berbarengan.
Dengan berat ku keluarkan buku
sketsa ku. Sampulnya lusuh. Karena sudah 3 tahun ia menemaniku, ku bawa setiap
saat. Meski sampai sekarang baru setengah buku yang telah ku isi. Mereka memeriksa halaman terakhir
yang berisi sketsa.
“Eh bagus. Kapan-kapan temenin
beli pen nya ya. Aku mau juga,” Tama selalu bersemangat mengenai hal-hal yang
berbau seni.
“Besok-besok gambarin tanganku ya
Ri,, kan dari kemaren muka mulu yang digambar,” Dita mulai mengeluarkan tampak
imut andalannya saat menginginkan sesuatu.
Aku sedikit tersedak air putih
yang sedang ku minum.
“Besok-besok kan?” jawabku
terbatuk.
“Iya kapan sempatnya aja,” ia menyunggingkan
senyum ngarepnya.
“Ri, coba liat tanganmu,”
tiba-tiba Tama memintaku. Aku baru sadar selagi aku dan Dita berbincang, Tama
membalik-balik lembar buku sketsaku.
Ku tunjukkan kedua kepal
tanganku.
“Mirip. Sejak kapan kau ngegambar
diri sendiri?” Tama tak melepaskan pandangan dari buku sketsa di tangannya.
Aku mengernyit heran. Dita
langsung ikut melihat apa yang Tama lihat.
“Ini gambarmu Ri? Kok beda?” Tama
masih mengamati.
“Ta..u..fik?” Dita mengeja sambil terheran.
Aku tercekat. Sudah lama nama itu
tak ku dengar. Kini aku paham gambar apa yang sedang dilihat Tama dan Dita.
“Ini Taufik yang buat Ri?” Tama
penasaran
“Serius? Ini Taufik yang...” Dita
tak menyelesaikan kalimatnya.
Adegan-adegan masa lalu
berkelebatan di benak ku. Seolah memberontak untuk diingat. Aku sadar apa yang
sedang dilihat oleh dua orang sahabatku ini.
Bayangan pria dengan senyum
hangat dan mata teduh dengan sekejap memenuhi pikiranku. Tubuh tinggi yang
sedikit kurus dan kulit sawo matang. Tahi lalat di atas bibir kirinya. Rambut
yang biasa ia biarkan sedikit panjang dan hanya disisir tangan. Boho bag coklat
yang selalu tersampir di pundaknya,
terkadang digantikan oleh ransel hitam coklat yang sama seperti milik ku. Kaus putih
yang dilapisi kemeja atau jaket abu-abu tidak terkancing menjadi gaya
khasnya. Jeans biru pekat, hitam atau abu-abu menjadi variasi tetap celananya.
Tak jarang juga ia menggunakan celana pendek saat waktu santai, tentunya dipadukan
dengan kaos putih koleksinya.
Aku masih bisa mengingat dirinya
dengan sangat detail. Seolah baru saja detik sebelumnya kami bertemu. Degup
kencang di dada ku terdengar nyaring. Denting garpu yang terjatuh menyadarkanku
dari lamunan. Garpu di tangangku terjatuh. Sebegitu tidak sadarnya kah diriku
saat meresapi ingatanku yang menggambrakan dirinya? Aah kenapa nama dan
bayangan itu masih sangat indah?
“Dia sekarang dimana?” Tama
sungguh-sungguh bertanya.
Aku baru sadar, tak pernah lagi
ada kisah manisku bersama Taufik yang pernah ku bagi dengan mereka. Bahkan mengenai
pertemuan terakhir kami dua tahun lalu.
***
just wait
0 komentar:
Posting Komentar